Nama : Yuniwati Khairunnisa
NIM : A1B113033
Program Studi : PBSI
Mata Kuliah : TIK
Perkawinan Dayak
Maanyan di Kalimantan
Suku Maanyan merupakan
salah satu dari suku-suku Dusun (Kelompok Barito bagian Timur) sehingga disebut
juga Dusun Maanyan. Suku-suku Dusun termasuk golongan Rumpun Ot Danum, salah
satu rumpun suku Bangsa Dayak sehingga disebut juga Dayak Maanyan. Suku Maanyan
mendiami bagian timur Kalimantan Tengah terutama di kabupaten Barito Timur dan
sebagian kabupaten Barito Selatan yang disebut Maanyan I. Suku Maanyan juga
mendiami bagian utara Kalimantan Selatan tepatnya di Kabupaten Tabalong yang
disebut Dayak Warukin. Dayak Balangan (Dusun Balangan) yang terdapat di
Kabupaten Balangan dan Dayak Samihim yang terdapat di Kabupaten Kotabaru juga
digolongkan ke dalam suku Maanyan. Suku Maanyan di Kalimantan Selatan
dikelompokkan sebagai Maanyan II. Menurut orang Maanyan, sebelum menempati
kawasan tempat tinggalnya yang sekarang, mereka berasal dari hilir (Kalimantan
Selatan). Walaupun sekarang wilayah Barito Timur tidak termasuk dalam wilayah
Kalimantan Selatan, tetapi wilayah ini dahulu termasuk dalam wilayah terakhir
Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860 yaitu
wilayah Kesultanan Banjar yang telah menyusut dan tidak memiliki akses ke laut,
sebab dikelilingi daerah-daerah Hindia Belanda.
Menurut situs “Joshua
Project” suku Maanyan berjumlah 71.000 jiwa.
Menurut sastra lisan
suku Maanyan, setelah mendapat serangan Marajampahit (Majapahit) kepada
Kerajaan Nan Sarunai, suku ini terpencar-pencar menjadi beberapa subetnis. Suku
terbagi menjadi 7 subetnis, diantaranya :
* Maanyan Paju Epat
(murni)
* Maanyan Dayu
* Maanyan Paju Sapuluh (ada pengaruh Banjar)
* Maanyan Benua Lima/Paju Lima (ada pengaruh Banjar)
* Maanyan Tanta (ada pengaruh Banjar)
* dan lain-lain
* Maanyan Dayu
* Maanyan Paju Sapuluh (ada pengaruh Banjar)
* Maanyan Benua Lima/Paju Lima (ada pengaruh Banjar)
* Maanyan Tanta (ada pengaruh Banjar)
* dan lain-lain
Keunikan Suku Dusun
Maanyan, antara lain mereka mempraktikkan ritus pertanian, upacara kematian
yang rumit, serta memanggil dukun (balian) untuk mengobati penyakit mereka
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas diperoleh data tentang suku Dayak Maanyan sebagai
berikut:
.
Suku Dayak Maanyan
|
Jumlah populasi
|
kurang lebih 71.000
jiwa
|
Kawasan dengan jumlah
penduduk yang signifikan
|
Kalimantan Tengah:
71.000.
|
Kelompok etnis
terdekat
|
Asal Mula Suku Dayak
Maanyan
Menurut F. Ukur
kelompok ini berasal dari Asia Selatan termasuk Proto Melayu. Dari ceritera
yang dituturkan oleh Wadian Matei dalam upacara kematian Marubia
Kiyaen, kelompok suku ini pernah melewati Sri Bagawan dan kota Lingga. Di dalam
Kiyaen itu, tidak pernah disebut-sebut nama-nama tempat di Sumatera dan Jawa.
Kiyaen adalah kisah perjalanan suku ini. Besar kemungkinan melalui atau melewati Kalimantan bagian Utara memakai Banung atau bahtera, kemudian menyusuri pantai timur Kalimantan, Selat Makassar. Banung mereka ada yang sesat ke Pilipina selatan, ada pula singgah di Tanjung Pamukan dan kemudian dikenal dengan Dayak Sumihin menempati Tanah Gerogot selatan.
Dikisahkan bahwa rombongan utama yang dipimpin oleh Datuk Sigumpulan dan isterinya Dara Sigumpulan tiba disuatu tempat yang bernama Gusung Kadumanyan atau Gusung Malangkasari tidak jauh dari Ujung Panti di tepi sungai Barito. Tidak diketahui dengan jelas mengapa kelompok ini berpindah-pindah dari sana ke Bakumpai Lawas, Jengah Tarabang, Katuping Baluh, Bamban Sabuku, Kupang Sundung, Unsum Ruang, Eteen (Balangan) dan kemudian Nan Sarunai.
Nan Sarunai menjadi tempat yang makmur dan maju. Tata pemerintahan sudah teratur. Diperkirakan letaknya di sekitar Banua Lawas, Pasar Arba di hilir Kelua sekarang.
Pemerintahannya dipegang oleh semacam dewan, terdiri dari 40 orang yang mempunyai keahlian masing-masing. Sebagai pimpinan pemerintahan pada masa itu adalah Ambah Jarang dengan dibantu oleh 7 orang Uria dan 12 orang Patis.
Ketika Nan Sarunai mencapai puncak kemajuannya, tiba-tiba diserang oleh pasukan dari Jawa. Kejadian tersebut terkenal dengan ungkapan "Nan Sarunai hancur, usak Jawa".
Kiyaen adalah kisah perjalanan suku ini. Besar kemungkinan melalui atau melewati Kalimantan bagian Utara memakai Banung atau bahtera, kemudian menyusuri pantai timur Kalimantan, Selat Makassar. Banung mereka ada yang sesat ke Pilipina selatan, ada pula singgah di Tanjung Pamukan dan kemudian dikenal dengan Dayak Sumihin menempati Tanah Gerogot selatan.
Dikisahkan bahwa rombongan utama yang dipimpin oleh Datuk Sigumpulan dan isterinya Dara Sigumpulan tiba disuatu tempat yang bernama Gusung Kadumanyan atau Gusung Malangkasari tidak jauh dari Ujung Panti di tepi sungai Barito. Tidak diketahui dengan jelas mengapa kelompok ini berpindah-pindah dari sana ke Bakumpai Lawas, Jengah Tarabang, Katuping Baluh, Bamban Sabuku, Kupang Sundung, Unsum Ruang, Eteen (Balangan) dan kemudian Nan Sarunai.
Nan Sarunai menjadi tempat yang makmur dan maju. Tata pemerintahan sudah teratur. Diperkirakan letaknya di sekitar Banua Lawas, Pasar Arba di hilir Kelua sekarang.
Pemerintahannya dipegang oleh semacam dewan, terdiri dari 40 orang yang mempunyai keahlian masing-masing. Sebagai pimpinan pemerintahan pada masa itu adalah Ambah Jarang dengan dibantu oleh 7 orang Uria dan 12 orang Patis.
Ketika Nan Sarunai mencapai puncak kemajuannya, tiba-tiba diserang oleh pasukan dari Jawa. Kejadian tersebut terkenal dengan ungkapan "Nan Sarunai hancur, usak Jawa".
Sebagian kecil penduduknya
melarikan diri dan membangun tempat baru diberi nama "Batang Helang
Ranu". Karena tidak aman Batang Helang Ranu itupun ditinggalkan, lalu
menyebar ke daerah Barito Timur dengan pembagian Paju IV, Paju X dan Banua
Lima.
Sekitar abad ke 16
datanglah Lebai Lamiyah meng-Islamkan, kecuali Paju IV, sampai
ke Kampung Sarapat. Itulah sebabnya di daerah Paju IV masih ada Hukum
Kematian dengan membakar tulang dan mayat. Karena ajaran-ajaran agama Islam
sangat berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan mereka, maka kembalilah
mereka ke status kepercayaan asli mereka semula. Akibatnya disana sini ada
perubahan termasuk tak ada "Mapui" atau Pembakaran Mayat.
Penghujung abad ke 18 Belanda dapat dengan mudah berkuasa atas kelompok yang sangat mencintai kedamaian dan ketentraman ini. Kemudian diikuti oleh penyebaran agama Kristen Protestan. Masih pada ujung abad itu sudah ada diantara penduduk yang dibaptis oleh Pendeta Tromp dari Zending Bremen. Agama Kristen merambat masuk melalui Kuala Kapuas. Misi itu diikuti dengan mendirikan gedung gereja di Tamianglayang tahun 1933 dan sekolah Rakyat di beberapa kampung. Semula menempati Kampung Beto, kemudian Murutuwu, akan tetapi kampung tersebut menolak misi itu.
Dengan dibukanya sekolah tadi maka daerah ini menerima perubahan yang sangat berarti. Melalui pendidikan kemudian, orang Maanyan mulai masuk dan menjadi Kristen yang dikenal dengan "Ulun Ungkup", sedang yang menjadi Islam karena perkawinan dan hal lain disebut "Ulun Hakei".
kata Maanyan masih simpang siur mengartikannya. "Ma" artinya ke dan "anyan" berarti tanah kering dan berpasir. Jadi orang yang mendiami tanah kering dan berpasir, tetapi ada juga yang berpendapat dan mengartikan, ialah orang yang mendiami Gusung Kadumanyan.
Kelompok ini sudah mengenal bertani ladang dengan memperhatikan bintang "Awahat". Mata pencaharian lain yakni berburu, menangkap ikan, membuat perahu dan lain-lain. Ketika ini tetap berladang, berkebun karet, rotan dan buah-buahan dan berternak babi. Jika dahulu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sekarang sudah merupakan tambahan nilai ekonomis.
Sebelum perang dunia kedua sudah banyak keluar untuk mencari lahan baru dan lebih subur. Disamping hutan merupakan sumber usaha tambahan. Mengumpulkan hasil hutan dan usaha membuat perahu. Karena hutan semakin menipis, maka pertanda kemunduran bagi hidup dan kehidupan mereka. Kemana lagi? kini lebih 40% menjadi buruh dan pegawai meninggalkan tempat asal mereka, menyebar kemana-mana.
Penghujung abad ke 18 Belanda dapat dengan mudah berkuasa atas kelompok yang sangat mencintai kedamaian dan ketentraman ini. Kemudian diikuti oleh penyebaran agama Kristen Protestan. Masih pada ujung abad itu sudah ada diantara penduduk yang dibaptis oleh Pendeta Tromp dari Zending Bremen. Agama Kristen merambat masuk melalui Kuala Kapuas. Misi itu diikuti dengan mendirikan gedung gereja di Tamianglayang tahun 1933 dan sekolah Rakyat di beberapa kampung. Semula menempati Kampung Beto, kemudian Murutuwu, akan tetapi kampung tersebut menolak misi itu.
Dengan dibukanya sekolah tadi maka daerah ini menerima perubahan yang sangat berarti. Melalui pendidikan kemudian, orang Maanyan mulai masuk dan menjadi Kristen yang dikenal dengan "Ulun Ungkup", sedang yang menjadi Islam karena perkawinan dan hal lain disebut "Ulun Hakei".
kata Maanyan masih simpang siur mengartikannya. "Ma" artinya ke dan "anyan" berarti tanah kering dan berpasir. Jadi orang yang mendiami tanah kering dan berpasir, tetapi ada juga yang berpendapat dan mengartikan, ialah orang yang mendiami Gusung Kadumanyan.
Kelompok ini sudah mengenal bertani ladang dengan memperhatikan bintang "Awahat". Mata pencaharian lain yakni berburu, menangkap ikan, membuat perahu dan lain-lain. Ketika ini tetap berladang, berkebun karet, rotan dan buah-buahan dan berternak babi. Jika dahulu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sekarang sudah merupakan tambahan nilai ekonomis.
Sebelum perang dunia kedua sudah banyak keluar untuk mencari lahan baru dan lebih subur. Disamping hutan merupakan sumber usaha tambahan. Mengumpulkan hasil hutan dan usaha membuat perahu. Karena hutan semakin menipis, maka pertanda kemunduran bagi hidup dan kehidupan mereka. Kemana lagi? kini lebih 40% menjadi buruh dan pegawai meninggalkan tempat asal mereka, menyebar kemana-mana.
SEJARAH SUKU
1.a. Berbicara untuk
memahami Kebudayaan Dayak Maanyan sekarang bukanlah mudah. Perubahan begitu
cepat yang telah dialami suku ini terutama setelah lebih setengah abad berlalu.
Nilai -nilai telah bergeser dan berubah, karena pengaruh yang masuk ke
tengah-tengah masyarakatnya. Pengaruh Pemerintah Belanda, Jepang, zaman
pergolakan hingga tercapainya kemerdekaan bangsa kita, zaman Orde Baru dan
setelah keruntuhan orde baru sampai Pemerintahan saat ini.
Sumbangan berupa pemikiran terutama bagi peminat serta bersedia mau membangun dan mengembangkan masyarakat Dayak Maanyan sangat diharapkan pada masa ini. Terutama mendampingi mereka dalam gejolak perubahan tajam meninggalkan kepercayaan lama dari benturan-benturan yang mungkin merugikan. Jalan yang memungkinkan dengan memperhatikan sejarah, adat kebiasaan dan budaya suku ini.
Menurut F. Ukur kelompok ini berasal dari Asia Selatan termasuk Proto Melayu. Dari ceritera yang dituturkan oleh Wadian Matei dalam upacara kematian Marubia Kiyaen, kelompok suku ini pernah melewati Sri Bagawan dan kota Lingga. Di dalam Kiyaen itu, tidak pernah disebut-sebut nama-nama tempat di Sumatera dan Jawa.
Kiyaen adalah kisah perjalanan suku ini. Besar kemungkinan melalui atau melewati Kalimantan bagian Utara memakai Banung atau bahtera, kemudian menyusuri pantai timur Kalimantan, Selat Makassar. Banung mereka ada yang sesat ke Pilipina selatan, ada pula singgah di Tanjung Pamukan dan kemudian dikenal dengan Dayak Sumihin menempati Tanah Gerogot selatan.
Dikisahkan bahwa rombongan utama yang dipimpin oleh Datuk Sigumpulan dan isterinya Dara Sigumpulan tiba disuatu tempat yang bernama Gusung Kadumanyan atau Gusung Malangkasari tidak jauh dari Ujung Panti di tepi sungai Barito. Tidak diketahui dengan jelas mengapa kelompok ini berpindah-pindah dari sana ke Bakumpai Lawas, Jengah Tarabang, Katuping Baluh, Bamban Sabuku, Kupang Sundung, Unsum Ruang, Eteen (Balangan) dan kemudian Nan Sarunai.
Nan Sarunai menjadi tempat yang makmur dan maju. Tata pemerintahan sudah teratur. Diperkirakan letaknya di sekitar Banua Lawas, Pasar Arba di hilir Kelua sekarang.
Pemerintahannya dipegang oleh semacam dewan, terdiri dari 40 orang yang mempunyai keahlian masing-masing. Sebagai pimpinan pemerintahan pada masa itu adalah Ambah Jarang dengan dibantu oleh 7 orang Uria dan 12 orang Patis.
Ketika Nan Sarunai mencapai puncak kemajuannya, tiba-tiba diserang oleh pasukan dari Jawa. Kejadian tersebut terkenal dengan ungkapan "Nan Sarunai hancur, usak Jawa".
Sumbangan berupa pemikiran terutama bagi peminat serta bersedia mau membangun dan mengembangkan masyarakat Dayak Maanyan sangat diharapkan pada masa ini. Terutama mendampingi mereka dalam gejolak perubahan tajam meninggalkan kepercayaan lama dari benturan-benturan yang mungkin merugikan. Jalan yang memungkinkan dengan memperhatikan sejarah, adat kebiasaan dan budaya suku ini.
Menurut F. Ukur kelompok ini berasal dari Asia Selatan termasuk Proto Melayu. Dari ceritera yang dituturkan oleh Wadian Matei dalam upacara kematian Marubia Kiyaen, kelompok suku ini pernah melewati Sri Bagawan dan kota Lingga. Di dalam Kiyaen itu, tidak pernah disebut-sebut nama-nama tempat di Sumatera dan Jawa.
Kiyaen adalah kisah perjalanan suku ini. Besar kemungkinan melalui atau melewati Kalimantan bagian Utara memakai Banung atau bahtera, kemudian menyusuri pantai timur Kalimantan, Selat Makassar. Banung mereka ada yang sesat ke Pilipina selatan, ada pula singgah di Tanjung Pamukan dan kemudian dikenal dengan Dayak Sumihin menempati Tanah Gerogot selatan.
Dikisahkan bahwa rombongan utama yang dipimpin oleh Datuk Sigumpulan dan isterinya Dara Sigumpulan tiba disuatu tempat yang bernama Gusung Kadumanyan atau Gusung Malangkasari tidak jauh dari Ujung Panti di tepi sungai Barito. Tidak diketahui dengan jelas mengapa kelompok ini berpindah-pindah dari sana ke Bakumpai Lawas, Jengah Tarabang, Katuping Baluh, Bamban Sabuku, Kupang Sundung, Unsum Ruang, Eteen (Balangan) dan kemudian Nan Sarunai.
Nan Sarunai menjadi tempat yang makmur dan maju. Tata pemerintahan sudah teratur. Diperkirakan letaknya di sekitar Banua Lawas, Pasar Arba di hilir Kelua sekarang.
Pemerintahannya dipegang oleh semacam dewan, terdiri dari 40 orang yang mempunyai keahlian masing-masing. Sebagai pimpinan pemerintahan pada masa itu adalah Ambah Jarang dengan dibantu oleh 7 orang Uria dan 12 orang Patis.
Ketika Nan Sarunai mencapai puncak kemajuannya, tiba-tiba diserang oleh pasukan dari Jawa. Kejadian tersebut terkenal dengan ungkapan "Nan Sarunai hancur, usak Jawa".
Sebagian kecil
penduduknya melarikan diri dan membangun tempat baru diberi nama "Batang
Helang Ranu". Karena tidak aman Batang Helang Ranu itupun ditinggalkan,
lalu menyebar ke daerah Barito Timur dengan pembagian Paju IV, Paju X dan Banua
Lima.
Sekitar abad ke 16
datanglah Lebai Lamiyah meng-Islamkan, kecuali Paju IV, sampai ke Kampung
Sarapat. Itulah sebabnya di daerah Paju IV masih ada Hukum Kematian dengan
membakar tulang dan mayat. Karena ajaran-ajaran agama Islam sangat berbeda
dengan adat istiadat dan kebudayaan mereka, maka kembalilah mereka ke status
kepercayaan asli mereka semula. Akibatnya disana sini ada perubahan termasuk
tak ada "Mapui" atau Pembakaran Mayat.
Penghujung abad ke 18 Belanda dapat dengan mudah berkuasa atas kelompok yang sangat mencintai kedamaian dan ketentraman ini. Kemudian diikuti oleh penyebaran agama Kristen Protestan. Masih pada ujung abad itu sudah ada diantara penduduk yang dibaptis oleh Pendeta Tromp dari Zending Bremen. Agama Kristen merambat masuk melalui Kuala Kapuas. Misi itu diikuti dengan mendirikan gedung gereja di Tamianglayang tahun 1933 dan sekolah Rakyat di beberapa kampung. Semula menempati Kampung Beto, kemudian Murutuwu, akan tetapi kampung tersebut menolak misi itu.
Dengan dibukanya sekolah tadi maka daerah ini menerima perubahan yang sangat berarti. Melalui pendidikan kemudian, orang Maanyan mulai masuk dan menjadi Kristen yang dikenal dengan "Ulun Ungkup", sedang yang menjadi Islam karena perkawinan dan hal lain disebut "Ulun Hakei".
kata Maanyan masih simpang siur mengartikannya. "Ma" artinya ke dan "anyan" berarti tanah kering dan berpasir. Jadi orang yang mendiami tanah kering dan berpasir, tetapi ada juga yang berpendapat dan mengartikan, ialah orang yang mendiami Gusung Kadumanyan.
Kelompok ini sudah mengenal bertani ladang dengan memperhatikan bintang "Awahat". Mata pencaharian lain yakni berburu, menangkap ikan, membuat perahu dan lain-lain. Ketika ini tetap berladang, berkebun karet, rotan dan buah-buahan dan berternak babi. Jika dahulu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sekarang sudah merupakan tambahan nilai ekonomis.
Sebelum perang dunia kedua sudah banyak keluar untuk mencari lahan baru dan lebih subur. Disamping hutan merupakan sumber usaha tambahan. Mengumpulkan hasil hutan dan usaha membuat perahu. Karena hutan semakin menipis, maka pertanda kemunduran bagi hidup dan kehidupan mereka. Kemana lagi? kini lebih 40% menjadi buruh dan pegawai meninggalkan tempat asal mereka, menyebar kemana-mana.
1b. Suku Dayak Maanyan tidak mengenal raja. Pemimpin merupakan Kepala Suku. Yang menjadi pemimpin karena kecakapan, jujur, adil, dan berani. Pemimpin yang lalim tak akan terpilih. Pemilihan melalui musyawarah kemudian didudus atau dinobatkan. Di dalam pendudusan ia harus berjanji berlaku jujur dan adil.Pemimpin tertinggi disebut Damung merangkap Uria. mengatur pemerintahan merangkap menjadi Panglima atau orang kebal,menjaga keamanan. Penghulu atau Kepala Adat mengatur jalan dan ketaatan Hukum Adat. Balian atau Wadian melaksanakan kepercayaan. Pada waktu ini hanya ada Kepala Adat dengan beberapa orang anggotanya terdiri dari Mantir dang Penghulu, termasuk para Balian. Sedangkan Kampung dipimpin oleh Kepala Kampung. Kepala Kampung sekarang lebih terpilih dari kehendak Pemerintah ketimbang pilihan rakyatnya.
2.a. Kepala Adat dan Penghulu bertanggung jawab dibidang Adat, melaksanakan, mengatur agar tidak salah menurut kebiasaan adat. Dalam pelaksanaan selalu melalui musyawarah termasuk harus disaksikan oleh Kepala Kampung.
2.b. Pada Suku Dayak Maanyan sejak anak masih di dalam kandungan ada upacaranya : Naranang bila anak dalam rahim sudah meningkat 7 bulan, terutama pada kelahiran atau kehamilan yang pertama kali. Kemudian ada upacara "Malas Bidan" dan memberi nama berlaku sesudah tanggal tali pusat si bayi. Dan ada lagi pesta "Nganrus ia" atau "Mubur Walenun"atau pesta turun mandi. Ketiga upacara tersebut selamanya memakai Balian.
Penghujung abad ke 18 Belanda dapat dengan mudah berkuasa atas kelompok yang sangat mencintai kedamaian dan ketentraman ini. Kemudian diikuti oleh penyebaran agama Kristen Protestan. Masih pada ujung abad itu sudah ada diantara penduduk yang dibaptis oleh Pendeta Tromp dari Zending Bremen. Agama Kristen merambat masuk melalui Kuala Kapuas. Misi itu diikuti dengan mendirikan gedung gereja di Tamianglayang tahun 1933 dan sekolah Rakyat di beberapa kampung. Semula menempati Kampung Beto, kemudian Murutuwu, akan tetapi kampung tersebut menolak misi itu.
Dengan dibukanya sekolah tadi maka daerah ini menerima perubahan yang sangat berarti. Melalui pendidikan kemudian, orang Maanyan mulai masuk dan menjadi Kristen yang dikenal dengan "Ulun Ungkup", sedang yang menjadi Islam karena perkawinan dan hal lain disebut "Ulun Hakei".
kata Maanyan masih simpang siur mengartikannya. "Ma" artinya ke dan "anyan" berarti tanah kering dan berpasir. Jadi orang yang mendiami tanah kering dan berpasir, tetapi ada juga yang berpendapat dan mengartikan, ialah orang yang mendiami Gusung Kadumanyan.
Kelompok ini sudah mengenal bertani ladang dengan memperhatikan bintang "Awahat". Mata pencaharian lain yakni berburu, menangkap ikan, membuat perahu dan lain-lain. Ketika ini tetap berladang, berkebun karet, rotan dan buah-buahan dan berternak babi. Jika dahulu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sekarang sudah merupakan tambahan nilai ekonomis.
Sebelum perang dunia kedua sudah banyak keluar untuk mencari lahan baru dan lebih subur. Disamping hutan merupakan sumber usaha tambahan. Mengumpulkan hasil hutan dan usaha membuat perahu. Karena hutan semakin menipis, maka pertanda kemunduran bagi hidup dan kehidupan mereka. Kemana lagi? kini lebih 40% menjadi buruh dan pegawai meninggalkan tempat asal mereka, menyebar kemana-mana.
1b. Suku Dayak Maanyan tidak mengenal raja. Pemimpin merupakan Kepala Suku. Yang menjadi pemimpin karena kecakapan, jujur, adil, dan berani. Pemimpin yang lalim tak akan terpilih. Pemilihan melalui musyawarah kemudian didudus atau dinobatkan. Di dalam pendudusan ia harus berjanji berlaku jujur dan adil.Pemimpin tertinggi disebut Damung merangkap Uria. mengatur pemerintahan merangkap menjadi Panglima atau orang kebal,menjaga keamanan. Penghulu atau Kepala Adat mengatur jalan dan ketaatan Hukum Adat. Balian atau Wadian melaksanakan kepercayaan. Pada waktu ini hanya ada Kepala Adat dengan beberapa orang anggotanya terdiri dari Mantir dang Penghulu, termasuk para Balian. Sedangkan Kampung dipimpin oleh Kepala Kampung. Kepala Kampung sekarang lebih terpilih dari kehendak Pemerintah ketimbang pilihan rakyatnya.
2.a. Kepala Adat dan Penghulu bertanggung jawab dibidang Adat, melaksanakan, mengatur agar tidak salah menurut kebiasaan adat. Dalam pelaksanaan selalu melalui musyawarah termasuk harus disaksikan oleh Kepala Kampung.
2.b. Pada Suku Dayak Maanyan sejak anak masih di dalam kandungan ada upacaranya : Naranang bila anak dalam rahim sudah meningkat 7 bulan, terutama pada kelahiran atau kehamilan yang pertama kali. Kemudian ada upacara "Malas Bidan" dan memberi nama berlaku sesudah tanggal tali pusat si bayi. Dan ada lagi pesta "Nganrus ia" atau "Mubur Walenun"atau pesta turun mandi. Ketiga upacara tersebut selamanya memakai Balian.
Upacara adat dalam
system kekeraabatan Suku Dayak :
Perkawinan

b)
Kelahiran
Menurut tradisi di
kalangan masyarakat Dayak , pada saat melahirkan biasanya diadakan upacara
memukul gendang/gimar dan kelentangan dalam nada khusus yang disebut Domaq. Hal
itu dimaksud agar proses kelahiran dapat berjalan dengan lancer dan
selamat. Setalah bayi lahir, tali pusar dipotong dengan menggunakan
sembilu sebatas ukuran lutut si bayi dan kemudian diikat dengan benang dan
diberi ramuan obat tradisional, seperti air kunyit dan gambir. Alas yang
digunakan untuk memotong tali pusar, idealnya diatas uang logam perak atau bila
tidak ada adapat diganti dengan sepotong gabus yang bersih. Langkah berikutnya
bayi dimandikan, setelah bersih dimasukkan kedalam Tanggok/Siuur yang telah
dilapisi dengan daun biruq di bagian bawah. Sedangkan di bagian atas, dilapisi
daun pisang yang telah di panasi dengan api agar steril. Kemudian bayi yang
telah dimasukan dalam Siuur itu, dibawa kesetiap sudut ruangan rumah, sambil
meninggalkan potongan-potongan tongkol pisang yang telah disiapkan pada setiap
ruangan tadi. Hal Itu dimaksudkan agar setiap makhluk pengganggu tertipu oleh
potongan tongkol pisang itu sebagai silih berganti. Setelah itu, bayi tersebut
dibawa kembali ke tempat tidur semula, kemudian disekeliling bayi dihentakan
sebuah tabung yang terbuat dari bambu berisi air, yang disebut Tolakng,
sebanyak delapan kali, dengan tujuan agar si bayi tidak tuli atau bisu
nantinya. Setelah mencapai usia empat puluh hari, diadakan upacara Ngareu Pusokng,
atau Ngerayah dalam bentuk upacara Belian Beneq, selama dua hari. Hal itu
dimaksud untuk membayar hajat, sekaligus mendoakan agar si bayi sehat dan
cerdas, serta berguna bagi keluarga dan masyaraka. Pada upacara ini juga
merupakan awal dari diperbolehkannya si bayi di masukan dan ditidurkan dalam
ayunan ( Lepas Pati ). Sebelum bayi berumur dua tahun, diadakan upacara
permandian atau turun mandi di sungai untuk yang pertama kalinya. Pada upacara
ini tetap dipergunakan Belian Beneq, selama satu hari, dengan maksud
memperkenalkan si adak kepada dewa penguasa air yaitu Juata, agar kelak tidak
terjadi bahaya atas kegiatan anak tersebut yang berkaitan dengan air
(Nyengkokng Ngeragaq).
c)
Kematian
Tradisi penguburan dan
upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat.
Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di
Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di
Kalimantan :
penguburan tanpa wadah
dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
penguburan di dalam
peti batu (dolmen)
penguburan dengan wadah
kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang
terakhir berkembang.
Penguburan tidak lagi
dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan
Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen
yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan
menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam
bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak
mengenal tiga cara penguburan, yakni :
dikubur dalam tanah
diletakkan di pohon
besar biasanya untuk anak bayi dikarenakan terdapat getah yang dianggap sebagai
air susu ibu
dikremasi dalam upacara
tiwah.
Prosesi penguburan
Tiwah adalah prosesi
penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah
menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa
tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
Ijambe adalah prosesi
penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan
ditempatkan dalam satu wadah.
Marabia
Mambatur (Dayak
Maanyan)
Kwangkai Wara
Sistem religi dan
kepercayaan
Golongan islam
merupakan golongan terbesar, sedangkan agama asli dari penduduk pribumi
adalahagama Kaharingan. Sebutan kaharingan diambil
dari Danum Kaharingan yang berarti air kehidupan. Umat
Kaharingan percaya bahwa lingkunan sekitarnya penuh dengan mahluk halus dan
roh-roh (ngaju ganan) yang menempati tiang rumah, batu-batu besar, pohon-pohon
besar, hutan belukar, air , dan sebagainya. Ganan itu terbagi kedalam
2 golongan, yaitu golongan roh-roh baik (ngaju sangyang nayu-nayu) dan golongan
roh-roh jahat (seperti ngaju taloh, kambe, dan sebagainya).
Selain ganan terdapat pula golongan mahluk halus yang mempunyai suatu peranan
peting dalam kehidupan orang dayak yaitu roh nenek moyang (ngaju liau). Menurut
mereka jiwa (ngaju hambaruan) orang yang mati meninggalkan tubuh dan menempati
alam sekeliling tempat tinggal manusia sebagai liau sebelum kembali
kepada dewa tertinggi yang disebut Ranying.
Kepercayaan terhadap
roh nenek moyang dan mahluk-mahluk halus tersebut terwujud dalam bentuk
keagamaan dan upacara-upacara yang dilakukan seperti upacara menyambut kelahiran
anak, upacara memandikan bayi untuk pertama kalinya, upacara memotong rambut
bayi, upacara mengubur, dan upacara pembakaran mayat. Upacar pembakaran mayat
pada orang ngaju menyebutnya tiwah (Ot Danum daro Ma’anyam Ijambe ). Pada
upacara itu tulang belulang (terutama tengkoraknya) semua kaum kerabat yang
telah meninggal di gali lagi dan dipindahkan ke suatu tempat pemakaman tetap,
berupa bangunan berukiran indah yang disebut sandung.
Sistem kekerabatan
orang Dayak Kalimantan Tengah, didasarkan pada prinsip
keturunan ambilineal, yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui
laki-laki maupun wanita. Pada masa dahulu, kelompok kekerabatan yang
terpenting masyarakat mereka adalah keluarga ambilineal kecil yang timbul kalau
ada keluarga luas yang utrolokal, yaitu sebagai dari anak-anak laki-laki maupun
perempuan sesudah kawin membawa keluarganya masing-masing, untuk tinggal dalam
rumah orang tua mereka, sehingga menjadi suatu keluarga luas.
Pada masa
sekarang, kelompok kekerabatan yang terpenting adalah keluarga luas utrolokal
yang menjadi isi dari suatu rumah tangga. Rumah tangga ini berlaku sebagai
kesatuan fisik misalnya dalam sistem gotong royong dan sebagai kesatuan
rohanian dalam upacara-upacara agama kaharingan. Kewarganegaraan dari suatu
rumah tangga tidak statis, karena keanggotaannya tergantung pada tempat tinggal
yang ditentukan sewaktu ia mau menikah, padahal ketentuan itu dapat diubah
menurut keadaan setelah menikah. Jika orang bersama keluarganya kemudian pindah
dari rumah itu, pertalian fisik dan rohani dengan rumah tangga semula pun turut
berubah.
Pada orang Dayak,
perkawinan yang diangap ideal dan amat diingini oleh umum, perkawinan antara
dua orang saudara sepupu yang kakek-kakeknya adalah sekandung, yaitu apa yang
disebut hajenandalam bahasa ngaju (saudara sepupu derejat kedua) dan
perkawinan antara dua orang saudara sepupu dan ibu-ibunya bersaudara sekandung
serta antara cross-cousin.
Perkawinan yang
dianggap sumbang (sala horoi dalam bahasa Ngaju) adalah perkawinan antara
saudara yang ayah-ayahnya adalah bersaudara sekandung (patri-parallel cousin),
dan terutama sekali perkawinan antara orang-orang dari generasi yang berbeda
misalnya antara seorang anak dengan orang tuanya, atau antara seorang gadis
dengan mamaknya.
- Upacara Adat Kematian Dayak Maanyan.
Para
leluhur Dayak Maanyan pada jaman dahulu menganut kepercayaan Kaharingan, atau
pada saat ini lebih di kenal dengan Hindu Kaharingan. Mereka memiliki berbagai
upacara adat kematian. Masyarakat Dayak Maanyan dulu menggambarkan bahwa
kematian adalah sebuah awal perpindahan atau perjalanan roh (adiau atau
amirue) ke kemuliyaan dunia baru (tumpuk adiau) yang subur, damai,
tentram, kaya raya dimana di sana ada kesempurnaan, kesehatan, awet muda dan
kehidupan yang abadi. Seorang belian orang mati (wadian matei)
menggambarkan amerue/adiau akan diantar ke tumpuk janang jari, kawan
nyiui pinang kakuring, wahai kawan intan amas, parei jari, kuta maharuh,
welum sanang, puang mukemmaringin, arai hewu (Roh yang meninggal akan
dibimbing perjalanannya oleh belian menuju tempat/perkampunagn yang subur,
kelapa dan pinang menghijau indah, bertabuaran intan dan emas, padi yang subur,
makanan yang enak, hidup sejahtera, selalu sehat dan gembira). Gambaran ini
melukiskan kehidupan setelah mati yang ada di Nirwana atau surga.
Pada
dasarnya upacara adat kematian merupakan berbagai jenis upacara (serangkaian)
dari kematian sampai beberapa upacara untuk mengantar adiau/roh ke tumpuk
adiau/dunia akhirat.
Beriku ini
beberapa upacara kematian :
v Ijambe,
(baca ijamme’) yaitu upacara kematian yang pada intinya pembakaran tulang mati.
Pelaksanaan upacaranya sepuluh hari sepuluh malam, dan membutuhkan biaya yang
sangat besar, dengan hewan korban kerbau, babi dan ayam. Karena mahal upacara
ini dilaksnakan oleh keluarga besar dan untuk beberapa orang (tulang yang sudah
meninggal) atau untuk beberapa nama.
v Ngadatun,
yaitu upacara kematian yang dikhususkan bagi mereka yang meninggal dan terbunuh
tidak wajar dalam peperangan atau bagi para pemimpin rakyat yang terkemuka.
Pelaksanaannya tujuh hari tujuh malam.
v Miya,
yaitu upacara membatur yang pelaksanaannya lima hari lima malam. Kuburan
dihiasi dan lewat upacara ini keluarga yang masih hidup dapat “mengirim”
makanan, pakaian dan kebutuhan lainnya kepada “adiau” yang sudah meninggal.
v Bontang,
adalah level tertinggi dan termewah, bentuk penghormatan keluarga yang masih
hidup terhadap keluarga yang telah meninggal. Upacara ini cukup lama yaitu lima
hari lima malam dengan biaya yang sangat mahal. Hewan korbannya adalah puluhan
ekor babi jumbo dan ratusan ekaor ayam kampung, esensinya adalah
memberi/mengirim kesejahteraan dan kemapanan bagi roh/adiau yang di “Bontang”.
Upacara ini bukan termasuk upacara duka, tetapi sudah termasuk upacara
sukacita.
v Nuang
Panuk, yaitu upacara membatur yang setingkat di bawah upacara Miya,
karena pelaksanaannya hanya satu hari satu malam. Dan keburan si matipun hanya
dibuat batur satu tingkat saja. Diantar kue sesajen khas dayak yaitu tumpi wayu
dan lapat wayu dan berbagai jenis kue lainnya dalam jumlah serba tujuh dan
susunan yang cukup rumit.
v Siwah,
yaitu kelanjutan dari upacara Miya yang dilaksanakan setelah empat puluh hari
sesudah upacara Miya. Pelaksanaannya upacara siwah ini hanya satu hari satu
malam. Inti dari upacara siwah adalah pengukuhan kembali roh si mati setelah
dipanggil dalam upacara Miya untuk menjadi pangantu pangantuhu, atau
sahabat bagi keluarga yang masih hidup.
Yang
menarik dari upacara-upacara di atas adalah banyak unsur seninya, baik tumet
leut (sajak yang dilantunkan dengan nada indah tapi tetap, dan tarian khas
jaman dulu misalnya tari giring-giring atau nampak maupun nandrik)
Upacara adat dalam
system kekeraabatan Suku Dayak :
a)
Perkawinan
Prosesi tradisi
pernikahan Dayak Ngaju dilangsungkan dengan berbagai tahap. Perkawinan adat ini
disebut Penganten Mandai. Dalam iring-iringan, seorang ibu yang dituakan dalam
keluarga calon mempelai pria, membawa bokor berisi barang hantaran. Sedangkan
pihak keluarga calon mempelai wanita menyambutnya di balik pagar. Sebelum
memasuki kediaman mempelai wanita. Masing-masing dari keluarga mempelai
diwakilkan oleh tukang sambut yang menjelaskan maksud dan tujuannya datang
dengan mengunakan bahasa Dayak Ngaju. Namun sebelum diperbolehkan masuk,
rombongan mempelai pria harus melawan penjaga untuk bisa menyingkirkan
rintangan yang ada di pintu gerbang. Kemudian setelah dinyatakan menang pihak
pria, maka tali bisssa digunting kemudian di depan pintu rumah, calon mempelai
pria harus menginjak telur dan menabur beras dengan uang logam. Yang maksud dan
tujuannya supaya perjalanan mereka dalam berumah tangga aman, sejahtera dan
sentosa. Setelah duduk di dalam ruangan, terjadi dialog diantara kedua pihak.
Masing-masing diwakilkan (Haluang Hapelek). Diatas tikar (amak badere),
disuguhkan minuman anggur yang dimaksudkan supaya pembicaraan berjalan lancar
dan keakraban terjalin di kedua belah pihak.
Sebelum dipertemukan
dengan calon mempelai wanita, calon mempelai pria terlebih dulu menyerahkan
barang jalan adat yang terdiri dari palaku (mas kawin), saput pakaian, sinjang
entang, tutup uwan, balau singah pelek, lamiang turus pelek, buit lapik ruji
dan panginan jandau.
Sesuai dengan adat yang
berlaku, sebelum kedua mempelai sah secara adat, mereka harus menandatangani
surat perjanjian nikah, yang disaksikan oleh orang tua kedua belah pihak. Dan
bagi para hadirin yang menerima duit turus, dinyatakan telah menyaksikan
perkawinan mereka berdua. Sebelum acara berakhir, masing-masing keluarga
memberikan doa restu kepada pengantin (tampung rawar). Dilanjutkan dengan
hatata undus, saling meminyaki antara dua keluarga ini sebagai tanda sukacita,
dengan menyatukan dua keluarga besar.
Masalah perkawinan :
Orang Maanyan memandang perkawinan itu luhur dan suci, karenanya diusahakan
semeriah mungkin, memenuhi segala ketentuan adat yang berlaku. Dibebani dengan
persyaratan yang harus diindahkan. Pada dasarnya Suku Dayak Maanyan tidak
menyukai Poligami. Diusahakan pasangan yang seimbang, tidak sumbang. Perkawinan
yang terbaik jika melalui kesepakatan antara kedua orang tua. Kebanyakan
perkawinan masa lalu diusahakan oleh orang tua. Kini kebebasan memilih sudah
tidak menjadi soal lagi. Dahulu yang menjadi ukuran orang tua, turunan,
perilaku, rajin, dan terampil bekerja dirumah atau di ladang. Untuk wanita
harus pandai memasak, menganyam dan kerajinan lain didalam rumah tangga.
Sekarang sesuai dengan kebebasan mereka, serta sejauh rasa tanggung jawab
masing-masing.
Tahap pertama keinginan kedua belah pihak disetujui oleh orang tua masing-masing, kemudian bisik kurik, pertunangan atau peminangan, menentukan waktu terbaik dan biayanya. Sedangkan biaya pada waktu ini ditetapkan ditanggung bersama, tidak seperti dahulu sangat ditentukan oleh pihak wanita.
Pesta perkawinan yang agak besar disebut "Nyumuh Wurung Jue" yakni meriah dan bergengsi. Bila perkawinan ini sumbang harus disediakan Hukum Adat "Panyameh Tutur" supaya bisa diselesaikan. Hampir semua orang pasti menghendaki cara perkawinan yang terbaik yakni melalui "Tunti-Tarutuh" atau jalan meminang si gadis.
Cara-cara lain yang kurang terhormat yaitu melalui "Ijari" cara "Mudi" dan cara yang tidak terpuji melalui "Sihala", "Mangkau" dan cara kawin "Lari"
Tahap pertama keinginan kedua belah pihak disetujui oleh orang tua masing-masing, kemudian bisik kurik, pertunangan atau peminangan, menentukan waktu terbaik dan biayanya. Sedangkan biaya pada waktu ini ditetapkan ditanggung bersama, tidak seperti dahulu sangat ditentukan oleh pihak wanita.
Pesta perkawinan yang agak besar disebut "Nyumuh Wurung Jue" yakni meriah dan bergengsi. Bila perkawinan ini sumbang harus disediakan Hukum Adat "Panyameh Tutur" supaya bisa diselesaikan. Hampir semua orang pasti menghendaki cara perkawinan yang terbaik yakni melalui "Tunti-Tarutuh" atau jalan meminang si gadis.
Cara-cara lain yang kurang terhormat yaitu melalui "Ijari" cara "Mudi" dan cara yang tidak terpuji melalui "Sihala", "Mangkau" dan cara kawin "Lari"
Unsur-unsur kebudayaan
yang secara universal terdapat pada masyarakat suku Dayak :
sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan
orang Dayak Kalimantan Tengah, didasarkan pada prinsip
keturunan ambilineal, yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui
laki-laki maupun wanita. Pada masa dahulu, kelompok kekerabatan yang
terpenting masyarakat mereka adalah keluarga ambilineal kecil yang timbul kalau
ada keluarga luas yang utrolokal, yaitu sebagai dari anak-anak laki-laki maupun
perempuan sesudah kawin membawa keluarganya masing-masing, untuk tinggal dalam
rumah orang tua mereka, sehingga menjadi suatu keluarga luas.
Pada masa
sekarang, kelompok kekerabatan yang terpenting adalah keluarga luas utrolokal
yang menjadi isi dari suatu rumah tangga. Rumah tangga ini berlaku sebagai
kesatuan fisik misalnya dalam sistem gotong royong dan sebagai kesatuan
rohanian dalam upacara-upacara agama kaharingan. Kewarganegaraan dari suatu
rumah tangga tidak statis, karena keanggotaannya tergantung pada tempat tinggal
yang ditentukan sewaktu ia mau menikah, padahal ketentuan itu dapat diubah
menurut keadaan setelah menikah. Jika orang bersama keluarganya kemudian pindah
dari rumah itu, pertalian fisik dan rohani dengan rumah tangga semula pun turut
berubah.
Pada orang Dayak,
perkawinan yang diangap ideal dan amat diingini oleh umum, perkawinan antara
dua orang saudara sepupu yang kakek-kakeknya adalah sekandung, yaitu apa yang
disebut hajenandalam bahasa ngaju (saudara sepupu derejat kedua) dan
perkawinan antara dua orang saudara sepupu dan ibu-ibunya bersaudara sekandung
serta antara cross-cousin.
Perkawinan yang
dianggap sumbang (sala horoi dalam bahasa Ngaju) adalah perkawinan antara
saudara yang ayah-ayahnya adalah bersaudara sekandung (patri-parallel cousin),
dan terutama sekali perkawinan antara orang-orang dari generasi yang berbeda
misalnya antara seorang anak dengan orang tuanya, atau antara seorang gadis
dengan mamaknya.
Keunikan Iwurung Juwe
dalam Pernikahan Suku Dayak Maanyan
Pasukan Dayak di
minta mencari wurung juwe
|
Pemenuhan Hukum Adat
bukanlah pernikahan sah, tetapi lebih mengarah kepada proses awal sebelum
dilaksanakannya Akad Nikah atau Peneguhan Pernikahan menurut aturan agama dan
Undang-Undang yang sah dan berlaku di negara Indonesia. Jadi setelah anda
bersanding untuk memenuhi Hukum Adat tersebut, tidak lantas anda sah sebagai
pasangan suami isteri, karena ini hanya merupakan proses awalnya saja.
Saya akan memberikan
gambaran tentang apa itu Prosesi Adat Iwurung Juwe dalam Suku Dayak
Maanyan. Ini merupakan bagian unik dan mengandung unsur lucu (funny), karena
pernikahan adalah tentang sukacita dimana dua orang manusia berlainan jenis dan
seluruh keluarga keduanya disatukan menjadi satu keluarga besar.
Pasukan dayak &
dayangnya mencari wurung juwe
|
Ketika anda (calon
pengantin pria) duduk di pelaminan adat, anda akan di datangi oleh pasukan
dayak dan dayang-dayangnya karena dipanggil oleh penghulu adat untuk meminta
bantuan menemukan wurung juwe (calon pengantin wanita) yang ingin
anda persunting. Setelah pasukan dayak dan dayangnya bertanya apa gerangan
sehingga mereka dipanggil dan dijawab oleh penghulu adat, maka merekapun mulai
mencari wurung juwe tersebut.
Hal yang unik dan
menarik adalah anda akan didatangkan dua orang perempuan secara bergantian oleh
pasukan dayak tersebut dan mempertanyakan benar atau tidak wurung juwe yang
mereka bawa adalah orang yang anda cari. Disini anda tidak boleh serta-merta
menjawab "tidak" atau "ya", tetapi anda menjawab dengan
cara bagaimana anda mengetahui ciri-ciri fisik sang wurung juwe yang anda cari.
wurung juwe bayangan
|
wurung juwe bayangan
lainnya lagi di rayu
|
Hal yang menarik adalah
anda bisa membuat guyonan seperti yang dilakukan oleh salah satu calon
pengantin pria yang berkata "kebiasaan saya untuk mengetahui
ciri-ciri pujaan hati saya adalah dengan memasang kacamata saya terlebih
dahulu. Karena dengan kacamata ini segalanya tentang pujaan hati saya akan
terlihat terang dan menyejukan hati saya". Kadang mendengar guyonan
tersebut, para tamu undangan akan ikut tertawa. Disamping itu Pasukan Dayak
adalah pasukan yang memiliki karakter pandai berbicara lucu dan menarik juga,
sehingga anda sebagai calon pengantin pun bisa terbawa. Misalnya begini, ketika
wurung juwe yang mereka dapatkan adalah calon pengantin wanita yang anda cari,
pasukan dayak bisa saja berkata "Tolong, jangan anda katakan bahwa ini
wurung juwe anda, karena kami perlu orang seperti ini untuk memperbaiki
keturunan kami yang kurang bagus di kampung". Candaan seperti itu ini yang
menjadikan acara Iwurung Juwe menjadi sangat meriah.
Disamping itu penari atau pasukan wadian dayak ini juga memiliki kesempatan melawak dengan cara merayu perempuan yang mereka balutkan kain berwarna kuning yang di coba sebagai wurung juwe kepada anda. Karena setelah anda katakan "ini bukan wanita yang saya cari" maka para pasukan pun diperbolehkan untuk melancarkan rayuan-rayuan gombal mereka (walaupun hanya sebatas bercanda).
Disamping itu penari atau pasukan wadian dayak ini juga memiliki kesempatan melawak dengan cara merayu perempuan yang mereka balutkan kain berwarna kuning yang di coba sebagai wurung juwe kepada anda. Karena setelah anda katakan "ini bukan wanita yang saya cari" maka para pasukan pun diperbolehkan untuk melancarkan rayuan-rayuan gombal mereka (walaupun hanya sebatas bercanda).
Suguhan tarian dayak
dihadapan calon pengantin
|
Setelah acara
mendapatkan wurung juwe ini selesai, anda juga disuguhkan tarian khusus pasukan
dayak dan dayang-dayangnya dan dari situ pula anda mendapatkan wejangan
langsung dari pimpinan pasukan dayak tentang bagaimana menjaga keutuhan sebuah
rumah tangga agar tetap bahagia selama-lamanya.
0 komentar:
Posting Komentar